![]() | |
Jembatan Kebajkan |
Jembatan Kebajikan Tinggal Kenangan
BILA melintasi Jalan KH. Zainul Arifin, pasti Anda akan menyeberangi Sungai Babura yang membelah Kota Medan lewat sebuah jembatan. Jembatan itu dulunya dikenal dengan Titi Berlian. Kenapa disebut dengan Titi Berlian? Karena pada malam harinya di tiang-tiang jembatan yang lebarnya sekitar 6 meter itu terdapat sinar seperti berlian. Jadilah ia disebut Titi Berlian.
Namun, sekarang orang lebih mengenalnya sebagai Jembatan Kebajikan. Sejarahnya, jembatan itu pertama kali dibangun pada tahun 1916. Tjong A Fie-lah yang memprakarsai dibangunnya jembatan itu dengan alasan untuk menghormati jasa kakaknya Tjong Yong Hian. Jembatan Kebajikan dibangun untuk menghubungkan Jalan Zainul Arifin (Calcuta Straat) dan Jalan Gajah Mada (Coen Straat).
Jembatan Kebajikan memiliki empat tiang, di setiap tiangnya terdapat prasasti yang ditulis dengan bahasa berbeda-beda, yakni Bahasa Belanda, Arab, Mandarin dan Bahasa Jawi. Keragaman bahasa itu menyimbolkan Kota Medan yang multietnis. Ini dibuktikan dengan adanya Kampung Madras, dimana kampung itu dihuni oleh Suku Tamil, Tionghoa, dan Melayu.
Tatkala saya melintas di Jembatan Kebajikan, Jumat (18/2), seorang penarik becak tengah buang air kecil di tiang jembatan itu. Ia tidak tahu atau tidak mau tahu betapa berharganya peninggalan sejarah itu bagi masyarakat Kota Medan, khususnya. Warga sekitar yang juga menyaksikan jembatan itu seolah-olah menjadi wc umum, mempertanyakan kalau bukan kita siapa lagi yang menjaganya. Meskipun Pemko Medan kurang memperhatikan peninggalan bangunan bersejarah, tapi sebaiknya masyarakat Kota Medan jangan ikut-ikutan tidak menjaga kelestarian peninggalan bersejarah yang sangat berharga itu.
Peneliti Pusat Studi Sejarah Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Erond L Damanik menuturkan memang perhatian Pemko Medan terhadap situs sejarah itu masih kurang.
“Perhatian Pemko masih kurang, karena jika melihat dari segi originalitas, kesadaran warga rendah dengan mencuri lampu-lampu, sementara itu Pemko tidak ada tindakan tegas apalagi untuk merenovasi jembatan dengan mempertahankan arsitektur asli jembatan,” ujarnya.
Sementara itu, Dewan Pendiri Badan Warisan Sumatra (BWS) Hendra Arbie menyerukan agar setiap elemen masyarakat mengkampanyekan peninggalan sejarah termasuk Jembatan Kebajikan kepada dunia agar masyarakat tergugah menyumbangkan dana melalui BWS, dan merevisi Perda yang sudah ada dengan memberikan hukuman berat kepada pihak yang ingin membongkar situs bangunan bersejarah.
“Saat ini berdasarkan hasil penelitian Universitas Tokyo terdapat 600 situs bangunan bersejarah di Kota Medan. Sekitar 30 persen bangunan bersejarah terawat selebihnya tidak. Bangunan bersejarah yang terawat itu terletak di kawasan Jalan Hindu, Jalan Mesjid, dan Jalan Perdana,” ujarnya.
Padahal, menurutnya Hendra Arbie, Jembatan Kebajikan itu menyimbolkan harmoni masyarakat yang hidup dalam lingkup multietnik. Berdasarkan kehidupan yang multietnik itu UNESCO melalui BWS memberikan penghargaan kepada Pemko Medan pada tahun 2003 karena memiliki warisan berharga di Asia itu. Ia berharap agar pemerintah segera merevisi Perda Purbakala karena dendanya terlalu ringan.
Jembatan Kebajikan meninggalkan kenangan manis bagi warga yang tinggal di sekitar jembatan itu. Termasuk pula Alamsyah 57, warga Kampung Madras Gg. Famili. Dahulu pada tahun 1964 ketika masih lajang, ia sering mandi-mandi di sungai. “Dulu airnya jernih, bapak sering nangkap ikan sama kawan. Bahkan bapak dulu sering nambang pasir untuk dijual, batu-batu masih banyak. Sekarang banyak sampah, airnya jorok,” kata pria tujuh orang anak ini.
Ia merupakan muslim keturunan Tionghoa sedangkan istrinya keturunan Melayu. Ia mengaku menemukan jodohnya karena adanya Jembatan Kebajikan itu. Karena di jembatan itu ia sering bermain dengan anak Kampung Madras Sebrang, sedangkan ia tinggal di kawasan Petisah Hulu.
Kini, Titi Berlian hanya tinggal kenangan. Airnya tidak sejernih puluhan tahun yang lalu. Warga tidak lagi dapat memanfaatkan Sungai Babura sebagai sumber pencarian. Jembatan Kebajikan itu sekarang menjadi saksi perkembangan Kota Medan menuju kota metropolitan. Terkadang ia disanjung, terkadangnya lagi ia dikencingi. Sungainya penuh dengan sampah, pagar pembatas yang keperakan catnya mengelupas sedangkan trotoarnya bolong. Belum lagi jika musim kampanye ia ditempelin stiker kandidat parpol. Miris dan dramatis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar